Kasus Joao Felix menjadi menarik perhatian publik di tengah hingar bigar bursa transfer sepak bola. Pemain ini datang ke Al Nassr, jelas bukan karena usia yang sudah menua. Tetapi bisa jadi karena karirnya yang banyak disebut mulai kehilangan arah.
Joao Felix pada awalnya adalah harapan besar bagi sepak bola Eropa. Pemain Portugal ini tampil mengesankan bersama Benfica. Dari sana anggapan Golden Boy disematkan atas kiprahnya di sepak bola. Saat pindah ke Atletico Madrid pada 2019 dengan mahar fantastis, 127 juta euro, predikat itu semakin tebal pada dirinya.
Namun, sejak awal terlihat, gaya bermainnya tidak cocok dengan pendekatan keras dan defensif ala Diego Simeone di Atletico Madrid. Felix yang bermain dengan inspirasi dan lebih individualistis, pada akhirnya kesulitan bermain dalam kolektiitas penuh kedisiplinan.
Lima musim di Atletico Madrid, alih-alih berkembang, Joao Felix malah mengalami kemrosotan permainan. Diwarai cedera dan inkonsistensi permainan, pemain ini akhirnya mulai mengalami masa-masa sulit. Peminjaman ke Chelsea dan AC Milan dijalani dengan hasil yang tak signifikan.
Pada musim lalu, statistik Joao Felix bahkan bisa dikatakan telah jauh dari level seorang Golden Boy. Banyak yang kemudian menyebutnya sebagai pemain ‘rongsokan’, meski usianya masih muda. Performanya jauh dari ekspektasi awal ketika pertama kali menggebrak dunia.
Muurianews, Kudus – Keputusan Joao Felix untuk meninggalkan Eropa dan bergabung dengan klub Arab Saudi, Al Nassr, menarik untuk disimak. Kepindahannya ke Al Nassr bisa dikatakan sebuah langkah penyelamatan.
Joao Felix yang saat ini masih berusia 25 tahun, seperti kehilangan identitas. Ketika pemain seusianya, seperti Kylian Mbappe dan Erling Haaland tengah mendominasi Eropa, Felix justru mencari awal baru di liga yang sebelumnya dianggap sebagai pelarian bagi para pemain yang mendekati senja karier.
Kasus Joao Felix menjadi menarik perhatian publik di tengah hingar bigar bursa transfer sepak bola. Pemain ini datang ke Al Nassr, jelas bukan karena usia yang sudah menua. Tetapi bisa jadi karena karirnya yang banyak disebut mulai kehilangan arah.
Joao Felix pada awalnya adalah harapan besar bagi sepak bola Eropa. Pemain Portugal ini tampil mengesankan bersama Benfica. Dari sana anggapan Golden Boy disematkan atas kiprahnya di sepak bola. Saat pindah ke Atletico Madrid pada 2019 dengan mahar fantastis, 127 juta euro, predikat itu semakin tebal pada dirinya.
Namun, sejak awal terlihat, gaya bermainnya tidak cocok dengan pendekatan keras dan defensif ala Diego Simeone di Atletico Madrid. Felix yang bermain dengan inspirasi dan lebih individualistis, pada akhirnya kesulitan bermain dalam kolektiitas penuh kedisiplinan.
Lima musim di Atletico Madrid, alih-alih berkembang, Joao Felix malah mengalami kemrosotan permainan. Diwarai cedera dan inkonsistensi permainan, pemain ini akhirnya mulai mengalami masa-masa sulit. Peminjaman ke Chelsea dan AC Milan dijalani dengan hasil yang tak signifikan.
Pada musim lalu, statistik Joao Felix bahkan bisa dikatakan telah jauh dari level seorang Golden Boy. Banyak yang kemudian menyebutnya sebagai pemain ‘rongsokan’, meski usianya masih muda. Performanya jauh dari ekspektasi awal ketika pertama kali menggebrak dunia.
Membangun Ulang...
Di bursa transfer musim panas 2025 ini, sempat terpetik kabar Joao Felx akan kembali ke Benfica untuk membangun ulang kariernya. Namun, semuanya berubah, setelah Cristiano Ronaldo turun tangan. Menurut pakar transfer Fabrizio Romano, Felix menerima telepon langsung dari Ronaldo, yang kemudian meyakinkannya untuk bergabung dengan Al Nassr.
Kesepakatan akhirnya tercapai, Al Nassr memboyong Joao Felix dari Chelsea seharga 30 juta euro, ditambah bonus 20 juta euro. Joao Felix dikontrak selama dua tahun dengan gaji fantastis, mencapai 35 juta euro per musim, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dibanding saat dirinya bermain di Eropa.
Selain soal uang, tawaran untuk Joao Felix ini, bisa jadi memang menjadi sebuah upaya mengembalikan ‘kadar emas’ permainanya. Bermain bersama Ronaldo dan kembali dilatih oleh Jorge Jesus, bisa saja menjadi momentum untuk menemukan kembali bentuk terbaiknya.
Kepindahannya ke Liga Pro Saudi k Al Nassr, bisa saja dianggap sebagai sebuah langkah mundur. Tetapi bisa juga justru menjadi yang sebaliknya. Sejak kedatangan Ronaldo ke Al Nassr, kualitas liga Pro Saudi meningkat drastis.
Dalam bentuknya yang baru Liga Pro Saudi menjadi tujuan yang menarik, bukan hanya bagi pemain yang mengejar uang, tapi juga mereka yang ingin tampil di panggung kompetitif dengan eksposur global. Bagi Joao Felix, mungkin inilah tempat yang tepat untuk dirinya bisa bermain bebas, tanpa tekanan.
Joao Felix kini memiliki peluang dan momentum untuk bangkit. Memiliki gaji besar, main bersama bintang besar, dibimbing pelatih yang mengenal kemampuannya, dan tekanan yang relatif ringan, adalah lingkungan yang seharusnya bisa memberi kebangkitan bagi permainannya.
Namun, jika Joao Felix gagal bersinar, maka besar kemungkinan Liga Pro Saudi adalah sekoci terakhir bagi karir sepak bolanya. Dengan gaji besar, pemain ini setidaknya akan bisa mempersiapkan kehidupan biasa, jauh dari gegap gempitanya dunia sepak bola.
Piala Dunia 2026 seharusnya masih dalam jangkauanya. Dengan tampil impresif di Al Nassr, peluang untuk memperkuat Timnas Portugal tetap ada. Tapi segalanya berpulang pada Joao Felix sendiri. Apakah akan jadi awal kebangkitan atau justru akhir dari cerita seorang Golden Boy sepak bola Eropa.