Kamis, 20 November 2025

Murianews, Kudus – Tradisi pencak dor masih dilestarikan hingga kini. Terakhir, tarung bebas yang menjadi tradisi Pagar Nusa itu digelar di Lapangan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kudus, Minggu (20/8/2023).

Ketua Pagar Nusa Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Husnul Khitam Qosim menjelaskan, tradisi pencak dor pertamakali dicetuskan KH Maksum Jauhari atau yang lebih akrab dengan sebutan Gus Maksum.

’’Gus Maksum itu sebagai guru besar dari Pagar Nusa yang juga berasal dari pondok pesantren Lirboyo di Kediri,’’ katanya, Senin (21/8/2023).

Pencak dor diperkirakan dimulai sejak 1960 silam. Di era itu setiap pondok pesantren memperlihatkan kebolehan para santrinya dalam dunia persilatan.

Saat itu tujuannya untuk meminimalisir perkelahian di jalanan. Selain itu untuk memberikan wadah para pendekar menunjukkan kemampuan bela dirinya.

Dia menjelaskan, bernama pencak dor karena setiap atlet bertanding diiringi dengan tabuhan jidor, sehingga disebut pencak dor.

’’Dikatakan tarung bebas bukan berarti tidak ada aturannya. Pencak dor tetap memiliki aturannya. Disebut tarung bebas karena atletnya tidak menggunakan protector dan tidak menggunakan sarung tangan,’’ sambungnya.

Husnul menjelaskan, berbagai aturan yang terdapat pada pencak dor. Di antaranya atlet atau pesilat tidak boleh menjambak rambut lawan, ketika lawan terjatuh tidak boleh diserang, bagian vital pesilat juga tidak boleh diserang.

’’Kalau area kepala diperbolehkan untuk diserang. Bahkan terkadang ada yang sampai berdarah karena terkena pukulan langsung dari pesilat yang tidak menggunakan sarung tangan,’’ terangnya.

Saat ini pencak dor masih terus dilestarikan. Yakni sebagai seni budaya sekaligus untuk menjaga keutuhan NKRI.

’’Harapan kami ajang pencak dor diadakan secara rutin dan terus berkembang. Bukan untuk jago-jagoan karena di atas ring merupakan lawan, di bawah ring merupakan kawan,’’ tandasnya.

 

Reporter: Vega Ma'arijil Ula

Komentar

Sport Terkini

Terpopuler